Tuesday, February 19, 2008

Ketika Air Tanah Krisis, Apa yang Harus Kita Lakukan?

Bencana alam yang kian hari kian mengancam Negara Kesatuan Republik Indonesia pada hakikatnya merupakan buah dari perilaku kita yang tidak mencintai lingkungan disekitar kita. Salah satu bencana yang harus kita benahi dari sekarang yaitu bencana krisis ketersediaan air tanah.

Krisis ini terjadi karena masyarakat memanfaatkan air tanah secara berlebihan, fungsi hutan yang rusak, fungsi taman yang tidak optimal, sungai yang kotor dan mampet, dan danau yang dikeringkan. Pada saat bersamaan, jumlah sumur bor yang menyedot air tanah hingga kedalaman puluhan meter terus bertambah seiring dengan tumbuhnya kawasan industri. Kondisi ini diperparah oleh kontrol yang lemah. Pengambilan air tanah secara besar-besaran akan berdampak pada kekosongan air dalam tanah. Akibatnya, permukaan tanah bisa semakin menurun dan cadangan air tanah menipis. Berkurangnya air tanah secara drastis dapat mengakibatkan terjadinya penurunan tanah atau yang disebut subsidence seperti yang terjadi di beberapa tempat di Jakarta atau Bandung.

Di Jakarta saja, kuantitas dan kualitas air tanah terus turun. Selain cadangan air tanah semakin terkuras, sebagian air sumur juga tercemar bahan-bahan organik dan anorganik. Penduduk semakin sulit memperoleh air bersih dan sehat. Sedangkan pelayanan air bersih dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Jaya belum maksimal. Kebutuhan air bersih yang bisa dipenuhi dari air PAM Jaya hanya 51 persen, sisanya sebesar 49 persen dipenuhi air bawah tanah dan air permukaan.

Berdasarkan data Dinas Pertambangan DKI Jakarta tahun 2004, yang masuk zona sangat kritis adalah kawasan dengan kedalaman muka air tanah lebih dari 16 meter dengan fluktuasi muka air tanah lebih dari delapan meter. Sedangkan zona kritis yang memiliki kedalaman muka air tanah 12-16 meter dengan fluktuasi muka air tanah 6-8 meter. Daerah yang masuk zona kritis, dan sangat kritis, antara lain Cempaka Putih, Johar Baru, Senen, Tanah Abang di Jakarta Pusat; Kembangan, Kebon Jeruk di Jakarta Barat; Setiabudi, Kebayoran Lama, Tebet, Pasar Minggu, Jagakarsa di Jakarta Selatan; dan Duren Sawit, Makassar, Cipayung, Ciracas, Pasar Rebo di Jakarta Timur.

Daerah yang tergolong zona rawan dan sangat rawan antara lain Cengkareng, Petamburan, Kebon Jeruk, Kembangan, Taman Sari, dan Gambir. Selain itu, Menteng, Setiabudi, Matraman, Johar Baru, Pulo Gadung, dan Cakung.

Krisis air tanah juga terjadi antara lain karena air hujan yang turun tidak bisa terserap dalam tanah. Akibatnya, sebagian besar air hujan mengalir di permukaan tanah (run off), dan selanjutnya mengalir ke sungai. Banyaknya lahan untuk ruang terbuka hijau (RTH) yang dikonversi menyebabkan minimnya penyerapan air ke dalam tanah. Air hujan yang jatuh ke tanah akan langsung terbuang ke laut.

Pada tahun 2000, Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta mencatat, luas RTH di Jakarta hanya 18.180 hektar atau 28 persen dari luas wilayah DKI. Padahal, Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1998 tentang Penataan RTH di Wilayah Perkotaan harus mencapai 40 persen dari seluruh luas wilayah. Menambah RTH di Jakarta bukan pekerjaan gampang karena banyak area yang sudah terbangun.

Menurut Neraca Keseimbangan Lingkungan Hidup Daerah (NKLHD) 2001, luas wilayah Jakarta 661 kilometer persegi dengan luas areal yang sudah terbangun sebanyak 92 persen.

Berdasarkan data dari Dinas Pertambangan DKI, potensi curah hujan di wilayah DKI Jakarta sebesar tiga miliar meter kubik. Dari potensi itu, 64 persen di antaranya mengalir ke permukaan tanah dan 25 persen meresap ke dalam akuifer bebas. Total potensi air tanah dalam sebesar 77 juta meter kubik. Air tanah dari sumur dalam sekarang hanya dapat diperoleh dari kedalaman lebih dari 100 meter. Sementara air permukaan kualitasnya tidak begitu baik. Padahal butuh waktu 500 sampai dengan 600 tahun untuk mengisi kembali air tanah tersebut dari resapan ke tempat yang lebih dalam secara alami. Buruknya kualitas air tanah dan berkurangnya air yang meresap ke dalam tanah menyebabkan potensi cadangan air tawar tidak bisa dimanfaatkan sepenuhnya.

Selain kuantitas air yang menurun, kualitas air tanah yang dikonsumsi warga juga semakin buruk. Hasil klasifikasi Indeks Pencemaran (IP) di 48 sumur yang tersebar di lima wilayah menunjukkan 27 sumur tercatat cemar berat dan cemar sedang dan 21 sumur lainnya terindikasi cemar ringan dan dalam kondisi baik.

Menyelamatkan air bukanlah upaya yang mengada-ada, dan bisa dimulai sejak di pekarangan rumah kita sendiri. Salah satu cara penyelamatan air secara sederhana adalah dengan membuat sumur-sumur resapan (peresap) air hujan. Selain itu juga upaya holistik lainnya, yaitu dengan pendekatan vegetatif melalui reboisasi, perluasan hutan kota, taman kota, pembuatan waduk kecil atau embung, hingga pengelolaan sistem DAS (daerah aliran sungai) terpadu. Sebenarnya, dalam peraturan daerah seperti di DKI Jakarta telah ditetapkan bahwa pengajuan izin mendirikan bangunan (IMB) harus dilengkapi dengan pembuatan sumur resapan air. Namun, kenyataannya aturan itu tinggal torehan tinta di atas kertas.

Yang disebut sebagai sumur resapan adalah sumur gali yang berfungsi untuk menampung, meresapkan, dan mengalirkan air hujan yang jatuh di permukaan tanah, bangunan, juga atap rumah. Dengan adanya sumur resapan, air hujan bisa lebih efektif terserap ke dalam tanah.

Cara tradisional dahulu yang kerap dilakukan masyarakat di pedesaan untuk melestarikan air adalah dengan membuat lubang-lubang di sekitar tanaman atau pepohonan. Sejumlah negara menaruh perhatian besar terhadap konservasi air. Di Singapura, air tetesan pendingin udara (AC) pun tidak dibiarkan sia-sia, melainkan ditampung lalu dimanfaatkan. Sedangkan bangunan-bangunan bertingkat di Jepang sudah sejak lama membangun sumur-sumur resapan untuk melindungi konstruksi tiang pancang besi bajanya dari pengaruh air asin akibat intrusi air laut. Di Jakarta, gedung pusat Indosat, misalnya, sejak awal tahun 1990 telah memiliki pengolahan air limbah gedung yang cukup baik sehingga hasil olahannya dapat dimanfaatkan.

Sebenarnya, dengan membuat sumur resapan, seperti menabung air tanah. Sejumlah kawasan di Jakarta saat ini warganya terpaksa membeli air bersih untuk sekadar minum, mandi, dan cuci-mencuci karena air tanah di tempat tinggal mereka sudah tidak layak pakai, bahkan kering. Selain itu, manfaat sumur resapan ialah dapat menambah atau meninggikan permukaan air tanah dangkal (water table), menambah potensi air tanah, mengurangi genangan banjir, mengurangi amblesan tanah, serta mengurangi beban pencemaran air tanah.

Menyelamatkan air bagaimanapun bukanlah semata tugas negara atau pemerintah, tetapi juga tanggung jawab warga negara sendiri. Sebab, ketika air tanah kita kering dan air terpaksa harus dibeli, kita hanya akan memenuhi pundi-pundi perusahaan yang tanpa merasa bersalah memperdagangkan air. Sementara kita cuma bisa berkecut hati. Jadi, yuk bergerak untuk bergotong royong membuat sumur serapan di lingkungan kamu! Kalau bukan kita dan sekarang, siapa lagi dan kapan lagi?!

(dari berbagai sumber)

Akan diterbitkan di Padjadjaran Moeda (House Journal BEM Kema Unpad 07-08)

_Aisyah Humairah_

No comments: